Arnia melihat setumpuk surat di depannya, tidak tahu harus berbuat apa. Surat-surat itu terus datang setiap minggu, terkadang dua kali seminggu. Surat itu bukan untuknya, pun bukan untuk Rano adiknya. Surat itu memang ditujukan untuk Widya L. dengan alamat sama dengan rumah yang ditinggalinya. Ya, keluarga Arnia memang baru beberapa bulan ini mengontrak sebuah rumah di komplek perumahan yang letaknya tidak jauh dari jantung kota Jogja, Malioboro.
Arnia pernah menanyakan hal ini kepada pemilik rumah, Ibu Dewanti. Beliau mengatakan pengontrak sebelumnya adalah sebuah keluarga dengan dua putri, mungkin salah satunya bernama Widya L. Mereka hanya mengontrak rumah ini setahun saat Ibu Dewanti berobat ke Australia.
^^^
Bogor, 15 Oktober 2008
Lily-ku,
Aku sudah tidak di panti lagi. Mereka memintaku pergi secara halus. Entah aku akan tinggal di mana nanti. Eh, tapi jangan sedih ya? Aku pasti akan terus mengirimkan surat kepadamu, sampai saat aku tak mampu menulis lagi. Oiya, bagaimana dengan kuliahmu? Kalo tidak salah ingat, dua bulan lagi kamu wisuda ya? Senangnya jika aku bisa datang. Aku boleh datang, bukan?
Ya, sudahlah. Aku mau istirahat dulu. Sekarang aku sedang mampir di tempat temanku di Bogor. Jauh ya? Maaf jika besok-besok aku tidak mencantumkan alamat karena belum tentu aku cukup lama tinggal. Jika ingin membalas suratku, simpan saja. Aku akan mengambilnya saat mengunjungi Jogja lagi.
Tetap bersemangat untukku ya!
Pengembara
Arnia tersenyum kecil saat membaca nama penulis surat. Aduh, sudah tidak mencantumkan nama dan alamat jelas di amplop, surat pun hanya menuliskan ‘Pengembara’. Arnia tentu tidak percaya begitu saja jika itu nama asli pengirim. Itu adalah surat pertama yang datang di minggu pertama keluarga Arnia menempati rumah ini.
Surat pertama yang ditemukan Arnia di kotak surat yang menempel pagar rumah.
^^^
2 November 2008
Lily-ku,
Aku sedang kangen sekali padamu, tapi tak ada uang atau koin satu pun yang bisa kugunakan untuk meneleponmu. Apakah nomormu masih sama? Sayang aku lupa mencatat nomor telepon rumahmu. Ah, untung aku masih menyimpan beberapa kertas kosong ini. Tahu tidak, pulpen untuk menulis ini pun hanya pinjaman.
Hahaha, kau pasti tertawa saat membaca suratku ini ya. tidak apa-apa. Mungkin saat kau membacanya, kangenku sudah cukup berkurang. Atau mungkin malah lebih parah. Haduh.
Sudah dulu ya, Lily-ku. Pulpennya mau dipakai yang punya. Oiya, aku sekarang bekerja di bengkel tembikar milik teman lamaku. Aku tidak akan lama di sini, paling 2-3 minggu. Lumayan untuk menyambung hidup kan? Hayo, jangan sedih loh. Ah, nanti aku bisa ikut sedih, meski hanya membayangkanmu saja. Sudahlah, aku mengingat saja saat kita berjalan-jalan di Malioboro sore itu. Wah, apakah penjual pin itu masih setia menjajakan aneka pin lucu ya? Kamu pernah ke sana lagi? Jangan-jangan malah sudah berhasil mendapatkan bonus darinya. Wahahahaha.
Kapan-kapan kita ke sana lagi, ya? Nanti aku traktir beli pin yang kamu suka. Hehehe. Sudah dulu ya.
Pengembara
10 November 2008
Lily-ku,
Kerja membuat tembikar ternyata capek juga. Aku tahu seharusnya tak boleh mengeluh. Bukankah aku sudah diperbolehkan tinggal di sini ya. Masa aku hanya diam saja. Aku bantu sedikit-sedikit. Tentu aku melakukan semampuku.
Ah Lily,
Kadang aku cepat lelah, tapi tetap kupaksa sampai karyawan pulang. Setidaknya hingga waktu kerja berakhir. Hehehe, habis itu ga bisa ngapa-ngapain lagi deh. Payah ya?
Jadi kepikiran, badan gede juga ga ada artinya kalo tak bisa kerja. Huh, hampir tiap malam aku menyalahkan diri sendiri.
Lily-ku,
Andai kamu di sini, pasti sudah memarahiku habis-habisan ya? Tapi kamu kan tidak di sini. Aku benar- benar sendirian. Aku jadi kangen. Kamu kangen tidak?
Pengembara
^^^
Arnia sudah pernah mencoba menelepon di salah satu alamat yang pernah disebut ‘Pengembara’ dalam suratnya, tetapi mereka tidak mengenal Widya. Aduh, Arnia bingung sekali. Entah mengapa, cerita-cerita dalam surat itu membuat Arnia ingin memberi tahu yang sebenarnya kepada pengirim bahwa semua surat itu belum tersampaikan kepada Lily atau Widya. Terkadang ingin juga Arnia mencari di mana Widya dan memberikan semua surat itu.
Sudah 3 bulan semua berlangsung. Sudah 3 bulan pula pikiran Arnia terfokus hanya pada surat Pengembara dan rasa penasarannya. Terkadang setelah membaca kembali surat-surat itu, Arnia pergi ke tempat surat itu berasal dan mencari Pengembara. Arnia sadar Pengembara tak punya banyak waktu untuk kembali menemui Widya. Mereka mungkin tidak memiliki kesempatan bertemu lagi.
Jakarta, 5 Desember 2008
Lily-ku,
Aku kembali ke tanah kelahiranku. Tidak, aku tidak pulang ke rumah. Kau juga tahu aku sudah tak punya rumah lagi bukan? Aku sementara ini tinggal di rumah temanku. Hehe, banyak juga temanku. Dia punya usaha bengkel. Haduh, lebih berat dari kerja di bengkel tembikar. ;D
Aku masih bisa tertawa ya. Itu karenamu, Lily-ku. Aku ingat padamu, tapi anehnya aku tidak sedih. Aku malah menjadi bersemangat. Ya, semangatku tinggi saat membayangkan bisa mengunjungimu di Jogja. Sepertinya semua membaik di sini.
Lily-ku,
Aku bertemu ibuku!! Ssttt..., kami bertemu di sebuah mal. Ah, aneh rasanya. Bertemu ibu sendiri tapi harus sembunyi-sembunyi. Habis keluargaku lainnya pasti tidak setuju. Ibu juga bilang hanya pamit belanja, bukan untuk menemuiku. Dia tampak kurus, Lily. Hm, tetapi tetap kurusan aku. Yep, yep, aku memang lebih kurus dari terakhir kita bertemu. Sudah lama sekali ya.
Sudah dulu ya, ada pelanggan nih. Aku harus bekerja. Jadi montir!
Pengembara
15 Desember 2008
Lily-ku,
Lama aku tidak menulis surat padamu ya. Maaf, kadang aku sudah di depan meja, tapi hanya sanggup memandangi kertas kosong lama-lama. Seperti orang bodoh saja. Ya begitulah. Sekarang sedang niat nulis, malah bingung mau nulis apa. Banyak hal ingin kusampaikan kepadamu, Lily. Apa yang kualami beberapa hari terakhir, apa yang kurasakan .... Semua campur aduk di otakku.
Waahh, sudah satu jam tapi baru berhasil menulis satu paragraf. Maaf ya, Lily. Pokoknya, peristiwa akhir-akhir ini membuatku bersyukur pernah mengenalmu. Terima kasih untuk persahabatan kita, jika aku diizinkan menyebutnya begitu. Hehehe.
Keadaanku lumayan baik. Berat badanku naik loh. Aneh ga sih? Kerja di bengkel kok malah gemuk. Hehe. Mungkin karena aku bisa makan teratur ya. Aku juga dah bisa minum obat loh. Kalo nabungku lancar, akhir tahun aku bisa ke Jogja lagi. Hore!!!
Lily-ku, tunggu aku ya.
Hampir pagi 16 Desember 2008
Pengembara
Dua surat itu datang bersamaan dalam satu amplop tepat di hari Natal. Arnia baru akan menyusul keluarganya ke gereja saat pak pos berhenti di depan rumah. Dia menerima amplop seperti sebuah kado natal saja. Malam harinya, Arnia baru membaca surat itu. Hatinya bahagia setelah membaca surat terakhir. Entah mengapa. Aneh rasanya. Bahagia untuk apa? Apakah untuk harapan akan jawaban atas rasa penasaran selama ini? Atau karena Pengembara akan datang? Arnia tidak tahu. Semua campur aduk.
Namun, tiba-tiba rasa khawatir hadir. Bagaimana jika Pengembara datang dan mengetahui bahwa Lily tidak di sini? Bagaimana jika dia tahu Arnia membaca semua suratnya? Apa yang akan Arnia katakan kepadanya?
^^^
Tiga hari lagi sudah tahun baru. Arnia semakin berdebar-debar dan tanpa sadar semua tampak dalam sikapnya. Akhir-akhir ini Arnia mudah jengkel dan tersinggung. Kadang sedikit kesalahan Rano saja bisa membuat Arnia mengomel seharian. Namun, bukan berarti Arnia tidak menyadarinya. Dia sungguh ingin menyembunyikan perasaan khawatir dan cemasnya. Kepada orangtuanya, Arnia mengakui semua surat itu dari sahabat penanya. Untungnya mereka tidak curiga.
Siang itu Arnia sengaja tinggal di dalam kamar untuk menghindari adik atau orangtuanya. Dia tidak ingin marah-marah tanpa sebab. Ah, mungkin sebaiknya dia tidur saja. Liburan kuliah akhir tahun memang menyenangkan, setidaknya sebelum rasa penasaran itu berkunjung. Arnia menghela napas panjang. Dia hampir yakin surat Pengembara tidak akan datang lagi hingga akhir tahun.
”Pos!!! Pos!!!!!” Suara Pak Pos lantang di halaman depan. Tak ada sahutan dari rumah. Arnia bergeming. Ah, pasti ada Rano atau ibunya yang akan keluar. ”Pos!!!!!” Sekali lagi suara Pak Pos masuk kamar Arnia.
’Haduh, ke mana orang-orang?,’ batin Arnia. Dengan malas dia keluar kamar, lalu membuka pintu. Saat menerima amplop ukuran besar dari Pak Pos, Arnia tidak menduga pengirim surat itu. Pengembara.
26 Desember 2008
Lily-ku,
Kau sudah menerima 2 suratku sebelumnya? Apa yang kaupikirkan setelah membacanya? Aku sedikit GR kau akan merasa bahagia dan menantikanku. Terlalu berlebihan, ya? Hehehe.
Lily-ku,
Sulit menulis surat ini, tetapi harus kutulis. Aku tak ingin menyimpan semuanya sendiri. Ah, Lily-ku, aku ini terlalu egois. Maafkan aku. Ternyata semua tidak semakin baik. Kemarin malam aku diminta pergi dari rumah temanku. Yap, diusir dengan halus. Hehehe. Terjadi lagi deh. Untung sempat nabung dikit, tapi kok sayang makainya. Aku kan dah janji mau ke Jogja. Aduh, sekarang dah tak tahu apa bisa sampai Jogja.
Lily-ku,
Kamu tak marah kalo aku tidak jadi ke Jogja kan? Atau kamu masih mau menungguku? Aku akan tetap berusaha datang. Bagaimanapun caranya. Ah, kau masih ingat saat aku menumpang kereta barang dulu kan? Hahaha. Konyolnya saat itu.
Sudah dulu ya. Aku mau istirahat. Rasanya capek banget. Mumpung ada trotoar kosong nih. Jaga dirimu baik-baik, Lily-ku.
Pengembara
Hati Arnia tersayat membaca surat itu. Tidur di trotoar? Hanya untuk menghemat uang agar bisa ke Jogja. Padahal orang yang ingin dia temui sudah tidak ada di sini, mungkin juga tidak di Jogja lagi. Ironis.
^^^
Malam ini pergantian tahun. Seperti tahun-tahun lalu, dia menghabiskan waktu di rumah; menonton film-film baru di tivi. Namun, kali ini Arnia mengurung diri di kamar. Alasannya adalah membaca novel yang baru saja dibeli di pameran buku tahunan. Orangtuanya pun memaklumi. Padahal, Arnia sibuk mondar-mandir di kamarnya. Tidak nyaman melakukan apa pun. Ah, pikirannya dipenuhi bayangan Pengembara. Benarkah dia akan datang? Apakah dia akan mengetuk pintu tepat di pergantian tahun?
Ah, mengapa Arnia terlalu pusing memikirkan hal itu? Siapa Arnia bagi Pengembara. Arnia menggelengkan kepalanya keras-keras. Ingin rasanya ia mengepak semua pikiran itu dalam peti harta karun dan menenggelamkannya di lautan lepas. Mengapa semua jadi memusingkan? Mengapa ia tidak bisa mengabaikan saja semua surat itu? Atau mungkin membakarnya saja sehingga ia tak harus merasa terbebani begini. Terbebani? Ya, mungkin memang tak seharusnya Arnia merasa terbebani semua ini, tetapi itu yang ia rasakan.
Arnia ingin Pengembara bertemu lagi dengan Widya, ia sangat berharap Widya muncul dan menerima semua surat itu, ia .... Ah, Arnia tahu semua keinginan itu mungkin tak pernah terwujud dan hanya akan membuatnya penasaran sampai akhir. Ia pun tak mengerti mengapa ia tak bisa melalui hari tanpa memikirkan Pengembara yang jelas-jelas tak mengenalnya. Aneh.
^^^
Bunyi alarm mengantar kesadaran Arnia kembali ke dunia nyata. Ah, belum lama rasanya matanya terpejam. Tiba-tiba ada keinginan kuat untuk melihat jalan di depan rumahnya. Tanpa berpikir lagi, Arnia berlari keluar. Udara lembab menyambutnya. Kabut mengusap pelan wajah Arnia yang masih kuyu. Pandangan Arnia menjelajahi jalan, menoleh ke kiri-kanan .... Dia sendiri tidak tahu apa yang ingin dilihatnya. Sosok Pengembara-kah? Entah.
Lama Arnia termangu di depan pintu pagar. Untung suasana masih sepi sehingga tidak ada yang perla merasa heran. Setelah menghela napas panjang beberapa kali, Arnia berbalik lalu melangkah masuk rumah. Saat sampai di teras, Arnia terpaku. Kemudian, dia cepat berbalik menuju ke arah kotak pos. Dengan tergesa ia memeriksa isi kotak. Tangannya gemetaran. Tidak ada amplop, hanya secarik kertas kecil.
Lily-ku,
Aku tak sanggup menemuimu. Maaf, ya, mungkin lain waktu jika Tuhan masih mengizinkanku datang lagi.
Pengembara
Air mata Arnia menetes pelan.
24 Desember 2009
16.15
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar