Jumat, 18 Januari 2008

Aku pun tak ingin

07012005

Aku hanya termangu saat ia mengatakan dengan jelas tanpa kalimat penghias sedikit pun bahwa aku harus pergi karena mereka takut padaku, pada penyakitku. Ingin sekali aku mengatakan mereka tidak perlu takut tertular hanya karena berbicara, bersalaman, berada di dekatku. Sungguh, aku tak ingin berpindah tempat untuk kesekian kalinya.

Sebaris kalimat dari sahabat menenangkanku,

“Mereka hanya tidak tahu.”

Ya, semua karena mereka tidak tahu. Ternyata ketidaktahuan bisa lebih berbahaya dari penyakit apapun. Bahkan HIV/AIDS, yang kata orang belum bisa disembuhkan. Bukan tidak bisa, hanya belum waktunya. Entah sialnya atau beruntungnya, aku mengalaminya. Terinfeksi HIV yang sedang ramai dibicarakan orang. Aku juga tak bermaksud ikut-ikutan tren menjadi ODHA. Aku bahkan tidak tahu kapan virus itu mampir ke tubuhku dan tinggal di sana. Apa yang membuatnya betah? Aku belum pernah melakukan sexual intercourse, baik dengan lawan jenis maupun sejenis. Aku juga bukan pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik bersama-sama.

Aku hanya pernah membantu seseorang yang hampir mati karena kehabisan darah saat terjadi kerusuhan antara mahasiswa dan aparat. Orang itu hanya seorang pejalan kaki. Seperti aku. Apakah aku harus bertanya padanya tentang penyakit yang dia punya? Padahal, mungkin dia sendiri tak menyadarinya. Haruskah aku menyalahkan Tuhan karenanya? Tidak, aku sudah lelah. Tak ingin lagi menggugat atau mencari tahu siapa yang salah. Aku hanya ingin menjalani saja hidup yang masih kumiliki. Hari demi hari.

Malam ini juga aku harus pergi dari tempat di mana aku mulai merasa nyaman dan tenang. Aku tak bisa menawar untuk tinggal hingga esok hari. Padahal ini malam Paskah. Malam di mana aku tidak ingin sendirian, setidaknya merasa kesepian. Namun, kata-kata kepala panti asuhan tidak dapat kubantah. Aku tak ingin tahu apakah ia sebenarnya tak ingin aku pergi. Aku hanya tahu aku harus pergi…lagi. Aku tak tahu ke mana harus menuju. Rumah aku tak lagi punya. Keluarga adalah yang pertama memintaku pergi. Ya, meminta…bukan mengusir.

Aku berjalan menyusuri jalan yang mulai ramai. Hampir tengah malam adalah saat Jakarta mulai ramai. Ah, mengapa langkah membimbingku ke tempat parkir sebuah mal besar. Mal ini selalu mengingatkanku akan Jogja dan seorang sahabat yang begitu peduli, namun tak kupedulikan.

“Hei, kenapa loe ada di sini?” sapaan khas seorang teman yang tak kulupakan. Aku hanya tersenyum. Dia mengangguk dan mengajakku ke warung di tepi jalan dekat lahan parkir yang mulai sempit.

Loe tenang aja. Ikut gua dulu, ya?”

Aku menatapnya dalam. Tuhan, aku tak sendirian.

“Makasih. Gue gak tahu harus ke mana lagi.”

Dia mengangguk-angguk. Malam itu kami lewati dengan ngobrol banyak hal yang tak bermakna. Setidaknya, aku tak sendiri. Namun, mengapa hatiku masih merasa sepi? Saat ia kembali mengatur motor-motor yang parkir agar lebih teratur, aku pergi ke kamar miliknya yang terletak tepat di belakang mal. Tempat kumuh memang, tapi setidaknya aku bisa berteduh malam ini. Kamar itu sempit dan hanya berisi satu kasur beralas tikar dan satu lemari pakaian kecil. Dulu aku biasa main di sini tanpa sungkan. Namun, malam ini aku merasa tidak nyaman. Aku keluar kamar dan berjalan-jalan di sepanjang trotoar di depan mal. Seandainya HP-ku tidak hilang, aku pasti akan menelepon atau setidaknya SMS sahabatku di Jogja.

Jogja…kota kecil yang menyimpan banyak kenangan. Aku pun menemukan sahabat di sana. Kurogoh saku celana dan hanya menemukan dua ribu rupiah. Mana cukup untuk interlokal ke Jogja. Aku menghela nafas panjang yang mulai terasa berat belakangan ini.

Aku jadi teringat sahabatku kembali, seorang gadis dari ujung Utara Jogja. Dia begitu giat menyemangati hidupku yang mulai meredup sejak aku tahu terinfeksi HIV. Dia tidak menghindariku. Dia selalu bersemangat menyambutku saat aku berkunjung. Dia tak segan menggenggam tanganku dan memelukku untuk memberikan ketenangan. Tidak, tidak ada hasrat di antara kami, setidaknya dari pihaknya. Dia sungguh hanya menawarkan kehangatan persahabatan. Ah, mengapa hatiku malah bergejolak begini saat mengingatnya. Kuputuskan menelepon HP-nya meski hanya sebentar. Untung wartel cukup dekat.

Setelah kutekan nomornya, lama baru kudengar nada sambungnya.

“Hai, Bro!”

Ah, dia bisa menebak jika aku yang meneleponnya. Aku hampir saja menangis karena sudah cukup lama tak mendengar suaranya.

“Malam, Manis. Maaf, aku tak bisa lama. Aku dah keluar. Doakan aku, ya? Met bobo.”

Aku segera menutup telepon karena uangku tidak cukup. Pedih aku saat membayangkan sahabatku menangis di sana. Maaf, aku tak tahu apakah masih bisa mengunjungimu kembali. Entah karena tidak bisa atau karena tak punya waktu lagi.

Sungguh, aku juga tak ingin menjadi ODHA dan kehilangan banyak. Namun, mungkin tanpa HIV aku tak bisa bertemu denganmu, sahabat dari kota Jogja, dan mendapatkan anugerah persahabatan yang tulus. Ah, aku ingat tadi belum mengucapkan betapa aku sayang padanya. Semoga dia tahu. Betapa aku sangat menghargai persahabatan kami. Kembali dadaku bergemuruh. Hangat menyelimuti hatiku.

Dengan perasaan hangat, aku melangkah kembali ke kamar kos temanku. Tuhan, terima kasih Kau berkenan memberiku kesempatan mengenal seseorang yang masih mau menawarkan ketulusan sebuah persahabatan. Padahal, keluargaku sendiri menolakku. Tuhan, sungguh aku bersyukur. Namun, masih bolehkah aku berharap dapat kembali pergi ke Jogja mengunjunginya, meski hanya sekali.

Aku tahu aku takkan lama lagi dalam kondisi baik karena tak satu obat kukonsumsi. Aku pun sudah lelah menjaga perilaku sehatku. Kulirik kantung bajuku. Ada sebatang rokok filter yang melambai-lambai di sana. Kutahan diri agar tidak menghisapnya. Sesampainya di tempat parkir mal dan bertemu temanku, keinginanku merokok muncul kembali.

Kuhisap perlahan rokok filter sambil membayangkan apa yang kualami belakangan. Tanpa sadar kugulung lengan bajuku. Banyak tanda di lengan bawahku. Sahabatku pasti marah jika melihatnya, apalagi jika tahu alasannya. Aku sadar, aku jadi cengeng akhir-akhir ini. Aku pun mudah berpikiran pendek. Putus asa? Mungkin benar. Tuhan, maafkan aku yang tak menghargai kehidupan yang Kau berikan.

Jika tadi aku tak bisa bicara dengan sahabatku, mungkin pikiran bodoh akan terlintas kembali. Aku ingin menggugat, mengapa semua terjadi padaku saat aku memantapkan diri untuk berhenti dari dunia kelam. Rasanya tak ada gunanya aku berubah. Tiba-tiba, wajah polos sahabatku melintas. Raut wajahnya tampak marah. Aku jadi teringat setiap kalimat yang dia ucapkan untuk menguatkan hasrat hidupku.

Ah, aku tak boleh begini. Hidupku mungkin tak lama lagi, tetapi aku harus bisa membuat hidup singkat ini berarti bagi sesama. Bukankah itu memang keinginanku dulu? Kumatikan rokok yang masih separuh. Kuhela napas panjang yang masih saja terasa berat dan kutekan nyeri yang mulai menyeruak dadaku. Aku memantapkan diri untuk keluar kamar sempit dan mencari tempat berteduh yang baru. Tempat di mana aku bisa membagikan pengalaman hidupku dan mencegah orang lain berbuat kebodohan yang sama. Tuhan, terima kasih.

13.15

revisi 09 Januari 2006

1 komentar:

Dhewiberta mengatakan...

masih kayak curhat
tp menyedihkan... semoga ia tenang di sana
rajin-rajinlah mendoakannya
hikssss ...