Jumat, 18 Januari 2008

REI

REI

Ah, tak sampai 10 detik…pisau itu telah berpindah ke tubuhku. Sekilas kulihat Aya tersenyum. Senyum persahabatan, ketulusan, atau malah kemunafikan? Entahlah, tiba-tiba saja otakku tak bisa lagi berpikir. Adakah suara ketukan itu detak jantungku sendiri?

###

Namaku Rei. Umurku baru saja melewati 21 tahun. Aku masih berkutat dengan yang namanya kuliah. Kuliah, pulang, nonton TV…keseharianku. Belajar? Kalau sempat. Yah, rutinitas yang membuat hidupku terasa datar. Setiap hari aku melakukan kegiatan yang sama. Aku pun sering merasa jenuh dengan dengan hidupku yang tanpa gelombang. Tak jarang aku hang out dengan sahabat-sahabatku, ngobrol, dan sharing. Sering pula aku jalan-jalan sendiri untuk menikmati suasana kota. Namun, aku tetap merasa hidupku datar, sedatar denyut nadi orang mati. Flat line.

Sampai aku bertemu Uli, si Abang yang berprofesi wartawan lepas sebuah koran harian. Kami bertemu dalam pelatihan menulis yang diselenggarakan suatu penerbitan. Aku ikut hanya untuk mengisi waktu kosong saat liburan semester. Sementara Uli mengikutinya karena mendapat jatah dari koran tempatnya bekerja. Sekalian meliput, katanya. Uli dan aku duduk berdampingan tanpa direncana. Sama-sama terlambat. Mungkin karena duduk paling belakang sehingga tidak mendengar pembicara atau memang kurang tertarik dengan topik pembahasannya, kami malah ngobrol. Mula-mula aku hanya iseng mengomentari penampilan pembicara dan Uli mengiyakan. Akhirnya, aku menemukan diriku saling menertawakan pengalaman masa kecil dengan Uli. Semuanya mengalir begitu saja. Kami pun mendapatkan kumpulan data diri setiap peserta pelatihan dari panitia dan aku sempat terbahak saat tahu usia Uli. Baru saja melewati kepala tiga! Wajah Uli lumayan sewot saat aku lebih muda dari perkiraannya. Setelah hari itu, aku mendapati diriku semakin dekat dengan Uli. Hidupku pun berubah. Spontan, lucu, tetapi kadang berbahaya. Uli…sosok laki-laki dewasa yang bisa mengisi kekosongan jiwaku yang ‘sakit’. Bagaimana tidak sakit? Hampir semua orang mengharapkan hidup yang normal, dalam arti tidak ada masalah berat atau gelombang kehidupan. Sementara aku dengan kehidupan normal dan bahagia yang hampir tak pernah mengalami masalah berarti, malah menginginkan hidup yang bergejolak. Bukankah itu namanya orang ‘sakit’?

###

“Kamu dodol banget!” komentar Uli suatu saat ketika kami bercerita pengalaman konyol masing-masing. Aku hanya mencibir seperti biasa.

“Kok kita gak ketemu dari dulu, ya?”

“Biar bisa Abang gangguin?! Sori, ye!”

Uli, si Abang, hanya tertawa lebar. Yah, hidupku tak lagi datar. Uli membawa banyak cerita menegangkan yang sungguh nyata. Aku jadi tersadar akan dunia yang tidak melulu indah. Kedatangan Uli membuka mataku dengan pengalamannya yang kadang menegangkan saat berburu berita. Uli pun menularkan jiwa sosialnya padaku. Dua bulan ini ia sibuk membuat proposal dan mencari sponsor untuk membangun sebuah shelter untuk anak-anak jalanan. Uli menemukan mereka saat menulis berita tentang kekerasan pada anak jalanan. Ia tak mengizinkanku membantunya.

“Kamu fokus kuliahmu saja. Nanti kamu membantu kalau shelter-nya sudah jadi.” Itu alasan Uli saat aku memaksa untuk membantu paling tidak menuliskan proposalnya. Ia hanya mengenalkanku pada anak-anak jalanan itu. Sekali-dua, kami bertemu dan ngobrol bareng. Pengalaman mereka ternyata tak kalah menegangkan dan menyentuh. Aku sering terharu saat Uli membicarakan mereka. Uli…lelaki berjiwa bebas yang sangat peduli pada nasib anak-anak jalanan.

###

Namun, itu hanya beberapa bulan. Sejak Uli tahu penyakit kanker ada di tubuhnya. Tak ada binar cerah dari wajahnya, meskipun senyum tetap lekat di sana. Aku merasa kehilangan pelangiku.

“Rei, kadang aku ingin berhenti saja.” Celetuk Uli saat sedang dolan untuk menemaniku jaga rumah. Aku masih belum meresponsnya. Tarikan nafas Uli terdengar berat.

“Rei, kenapa ini terjadi padaku?” Aku menelan ludah, mulai mengerti arah pembicaraannya. Pasti dia mulai putus asa lagi.

“Bang, jangan begitu. Kan, Abang sendiri pernah bilang, kalau apa yang terjadi pada kita kadang merupakan rahasia-Nya.” Kataku sambil menunjuk ke atas. Uli tersenyum hambar. “Rasanya tak ada arti aku membuat banyak rencana ke depan. Shelter untuk anak-anak jalanan itu pun baru mulai kurintis. Apa aku hentikan saja, ya, Rei?”

Aku menatap Uli, “Bang, itu kan cita-cita Abang sejak dulu?”

“Ah, apa gunanya kalau aku sudah pergi sebelum shelter itu terwujud? Shelter itu butuh beberapa tahun untuk berdiri, sedangkan aku tak tahu apakah waktuku sebanyak itu…” Kalimat Uli terhenti. Aku tercekat. Kalau sudah begini, aku benar-benar merasa seperti masih anak-anak. Tak tahu apa yang harus kukatakan untuk membangkitkan semangatnya. Perasaanku sendiri tak menentu. Aku juga tak mau kehilangan pelindung yang baru saja kudapatkan.

Setelah beberapa lama terdiam, aku beranikan bicara sambil menggenggam erat tangannya. “Bang, hidup mati kan bukan hak kita. Kita semua pasti mati dan tak tahu kapan akan terjadi.” Aku menelan ludah, klise sekali. “Menurutku, Abang beruntung…”

Uli balik menatapku, “Maksudmu?” Aku mencoba tersenyum.

“Orang lain tidak tahu kapan akan mati. Aku juga. Nah, Abang malah sudah diberi tahu kira-kiranya. Ya, kan?” Bodoh, kenapa aku mengatakan hal seperti itu? Mata Uli berkaca-kaca. Tanpa kata, ia memelukku erat. Wah, kok jadi sentimentil begini. Setelah beberapa saat, Uli melepaskan pelukannya. Dia pun tersenyum.

“Yah, kamu benar, Rei. Aku cukup beruntung. Eh, sangat beruntung. Aku tahu kapan aku mungkin akan mati, sehingga bisa siap-siap, ya?” Aku hanya bisa mengangguk. Batinku terasa ngilu.

###

“Rei, aku benar-benar minta maaf…” Uli menatapku dengan pandangan sendu. Aku tak pernah melihatnya seperti itu. Tentu sebelum aku tahu dia mencoba bunuh diri. Uli…mengapa sampai seperti ini? Cukup lama ia terdiam untuk menjawab pertanyaanku itu. Saat kami masih di bangsal rumah sakit.

“Aku ingin ketemu Tuhan… Aku ingin tanya mengapa semua ini terjadi padaku.”

“Abang…” Tenggorokanku tercekat.

“Kenapa semua terjadi saat aku…berubah. Rei, aku kan sudah..” “Insaf. Ya, aku tahu, Bang. Aku juga percaya.”

“Lalu kenapa Tuhan menghukumku seperti ini? Saat aku berusaha menata hidupku kembali, Dia malah…” Ganti Uli yang tercekat. Aku hanya bisa mengusap pelan tangan kirinya yang diperban separuh. Tangan itu tak sekokoh biasanya. Sungguh, aku hampir tak mengenalinya. Apa yang dia pikirkan?

“Abang, tak memikirkan aku?” tanyaku pelan. Uli terhenyak, “Aku..aku…”

“Aku..tak ada artinya, ya, Bang?” Aku merasa hati dan mataku memanas.

“Rei…”

Aku menahan tangis sekuat tenaga. Aku tak tahu bagaimana perasaanku saat menyadari keberadaanku seakan tak ada artinya bagi Uli. Kugigit bibirku keras sebelum akhirnya mencoba bicara.

“Bukankah Abang pernah bilang padaku Tuhan itu aneh. Kita kadang tak tahu apa keinginan-Nya.” Kutarik nafas dalam dan berbisik di telinganya, “Mungkin ini cara Tuhan bilang Ia mengasihi Abang…” Aku ingin melangkah pergi. Namun, tangannya mencegahku. “Temani aku, Rei.”

###

Satu bulan, dua bulan, empat bulan…enam bulan. Ya, sudah enam bulan setelah vonis mematikan itu dan Uli masih bersamaku. Hidup dan bernafas. Dia memang pernah mencoba bunuh diri, tetapi dia tidak mati. Aku merasa Tuhan belum mengizinkannya pergi. Bukankah hidup dan mati memang rahasia Tuhan?

Sore ini aku janji bertemu Uli di kafe favorit kami pukul 8 malam. Masih pukul 7.30 saat aku sampai di sana. Suasana cukup sepi. Biasanya aku menunggu di bagian perpustakaan, tetapi malam itu aku sedang ingin mendengarkan permainan band tetap kafe. Malam itu mereka memainkan lagu-lagu Top Ten. Saat asyik mendengarkan lagu Where’d you go milik Forth Minor, bahuku ditepuk seseorang. Aya, wanita cantik kolumnis di koran yang sama dengan Uli. Aku tersenyum sambil bertanya-tanya alasan kehadirannya. Aya adalah wanita yang terkenal dingin dan anti tempat-tempat yang berbau hiburan.

“Malam, Mbak.” Aku menyapa basa-basi. “Sedang menunggu Uli?” Meski kaget, aku mengangguk. Aya duduk di depanku. Wajahnya serius.

“Uli tak bisa datang. Tidak usah ditunggu. Aku dari kantor dan sempat bertemu Uli. Ia memintaku menyampaikan pesan ini padamu.” Keningku berkerut. Keherananku cukup beralasan. Aku tahu Aya menyukai Uli dan sering menunjukkannya di depanku dan teman-teman sekantornya. Aku memang sering diajak Uli saat menyerahkan tulisan atau mengambil honor. Namun, Uli tidak membalasnya. Aya hanya teman biasa yang kebetulan satu tempat kerja. Uli pernah mengatakannya padaku. Aku tak ambil peduli, toh aku dan Uli tak melakukan hal yang salah.

“Makasih pemberitahuannya, Mbak. Aku masih akan menunggu di sini. Lagunya asyik.” Wajah Aya tak berubah. Kami sama-sama diam. Setelah lewat dua lagu, Aya beranjak pergi. Masih tanpa kata. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Aku yakin Uli akan datang. Janji adalah janji.

Pukul 8 lebih 10 menit aku mulai gelisah. Tak biasanya Uli terlambat tanpa pesan. Aku beranjak menuju pintu keluar. Sebelum mencapai pintu, aku merasa melihat sosok Aya. Ada sinar memantul dari tangannya. Bayangan sebilah pisau berkelebat.

###

“Rei!!” Aku merasa ada yang mengguncang tubuhku, keras. Kepalaku terasa ringan. Mataku terasa berat. Wajah pertama yang kulihat adalah wajah Uli. Ada airmata di sana.

“Bang…” Saat aku mencoba bicara, ada rasa menusuk-nusuk di ulu hatiku. Tampaknya ada keributan di sekitarku, tetapi tidak jelas. “Rei, kamu kenapa?” Aku mencoba tersenyum, rasanya begitu damai..hangat. “Bang, hidup dan mati memang rahasia-Nya, ya? Siapa kira Abang masih di sini…” Uli terseyum. Hei, di pipinya ada darah. Apakah itu… Ah, otakku tak bisa berpikir lagi. Tiba-tiba badanku terasa begitu letih. Rasanya aku ingin tidur saja.

“Rei…temani aku…” “Tapi, Bang…aku capek. Tidurkan..aku…” Aku tak merasakan lagi sakit di ulu hatiku. Hanya hangat… Adakah pelukan Uli menghangatkanku? Samar kudengar isaknya pelan di telingaku. Desah nafasnya menyempurnakan kedamaianku.

Juni-Juli 2006

1 komentar:

anuma mengatakan...

Aku menyebutnya tulisan emosi. Hmm,krasa kan? Pantes ga menang di ajang Cerpen Femina. Dah lupa tuh!!!
Namun, aku suka. Itu yang kurasa. Rest in Peace, Bro!!!