Selasa, 23 Desember 2008

"Mengapa tidak memelukku?" tanyaku.
"Karena kau tak pernah di depanku."
Jawaban apa itu?!
Mengapa kau tidak diam saja.

Tentu saja aku tak di depanmu.
Bukankah aku hanya akan bisa di belakangmu?
Aku hanya kuizinkan melihat punggungmu.
Menunggumu memanggil namaku.

Bukankah kau selalu begitu?
Memanggil namaku saat ingat.
Tak pernah berbalik dan mendekat.
Karena kautahu aku kan s'lalu datang.

Aku takkan datang lagi.
Karena kau tak mau memelukku.
Aku yang akan berlalu.
Tak lagi menatap punggungmu.

23122008

Selasa, 16 Desember 2008

Mimpiku ...

Mimpiku di awal tahun ini masih sama dengan tahun lalu. Aku ingin menyelesaikan sebuah novel atau membuat sebuah antologi puisi. Yap, sudah cukup lama keduanya tak selesai. Apalagi, beberapa bulan lalu aku mendapat tantangan untuk berkolaborasi membuat sebuah novel. Duh, benar-benar membuatku ngiler. Aku terpacu untuk mewujudkannya. Temanku itu juga menyemangatiku, entah bagaimana. Namun, sampai sekarang aku baru bisa menghasilkan 9 halaman. Itu pun hasil revisi ide cerita yang ngendon cukup lama.
Baiklah, aku akhirnya putar haluan. Hehehe. Antologi puisi siap diluncurkan! Namun ... lagi-lagi terbentur kesibukan yang lain hingga aku belum sempat melengkapi rangkaian puisi itu. Yah, padahal aku ingin sudah bisa membacanya Natal nanti. Hiks hiks hiks.
Akhirnya lagi, aku memutuskan untuk merevisi dan melengkapi antologi yang menjadi pengingatku akan seorang sahabat. Antologi itu seperti sebuah cerita awal persahabatan kami, saat kehilangan dia, sampai penerimaanku akan kepergiannya. Aku memang tak berniat mempublikasikannya. Siapalah aku. Aku hanya ingin menikmatinya sebagai sebuah antologi personalku. Bukankah itu lebih dari cukup?

Rabu, 03 Desember 2008

Bermain Hujan

Aku ingin bermain dengan hujan
atau mungkin sedikit berjudi
Sekadar bermain petak umpet dengannya
dalam waktu sesempit gerimis.

Mungkin dia akan menghadiahiku
lebat hujan dan sederet petir
atau hanya memberiku
sedetak guntur dan seuntai gerimis.

Aku hanya ingin bermain dengan hujan
Mungkin sendiri lebih baik.
Tarian kesunyian akan lebih pekak
daripada genderang sang bumi.

25112008

Selasa, 25 November 2008

Hai

Aku sudah menyapanya siang ini.
"Hai," hanya itu.
Dia pun balik menanyakan kabarku.
Baiklah, kami saling menyapa.
Namun, mengapa terasa pedih?
Aneh, bukan?
Harusnya aku senang, lega, atau bahagia.
Mengapa malah ingin berbalik dan menghindar?
Percakapan pendek itu memang terjadi.
Namun, tiada kehangatan terasa, malah gamang.
Sudahlah, aku sudah menyapanya.
Itu sudah cukup untuk hari ini.
Sekarang aku ingin pulang, kembali ke rumah.

17:40
25112008

Senin, 24 November 2008

24 Nov '08

Kau tidak datang malam tadi
Mengapa malah dia yang menemani
Tidak, aku tidak mengundangnya
Aku menginginkanmu, bayanganmu

Sungguh anganku kembali padamu
Senyummu ingin kulihat sekali lagi
Tak ada gambarmu dalam kalbuku
Kehangatan pun tak mampu kuraih

Kuhanya bisa membalikkan kenangan
Meski tiada lagi kekuatan
Mencoba mencari serpihan wajahmu
Dalam tiap suara yang masih kudengar

Rabu, 19 November 2008

Izinkan Aku Memakimu

Hai kau yg bernama!
Berani sekali kau pergi begitu saja
Meninggalkan kebunmu yg mulai tumbuh
Tiadakah setitik asa tertinggal?

Kau!
Ya, kau yg sedang termangu dalam hujan.
Tak sudi lagikah kau menyiangi rumput itu?
Keliarannya mulai mengoyak tunas yg kautanam

Hei, kau yg bernama!
Tengoklah sebentar ...
Di sini kami bersandar, tidak meninggalkanmu
Masih ingin menumbuhkan tunas-tunas itu

Kau yg bernama!
Ternyata aku tak sanggup memakimu
Kau yg kan kembali melangkah
Menapaki cita yg pernah tersirat


16:30
20112008

Selasa, 18 November 2008

Inginku

Aku ingin pulang, sekarang
Entah kenapa
Tiba-tiba saja aku ingin pulang
Tanpa alasan

Aku benar-benar ingin pulang
Adakah yang bisa membawaku pergi?
Pergi dari sini secepatnya

Pulang ke tempatku merasa nyaman

Aku hanya ingin pulang
Pulang ke peraduan senyumnya
Memeluk hangat jiwanya
Aku ingin cepat pulang

12:40
19112008

Meletup Lagi ...

Aku meletup lagi, tadi siang.
Sungguh tidak enak, sungguh tidak nyaman.
Aku juga tidak tahu bagaimana awalnya.
Aku hanya ingat rasa marah itu.

Ya, masih ingat obrolan yg biasa saja.
Ada jeda, cukup lama kurasa.
Setelah itu, ada nada merajuk.
Ya, aku tak salah mengenalinya.

Oke, baiklah jika ingin merajuk.
Silakan saja, tak masalah.
Namun, tunggu dulu.
Mengapa ada semburan panas di dalam sana?

Aku sudah ingin mengabaikannya.
Aku mulai tak acuh, tapi dia mulai meradang.
Tanpa kusadari, aku pun meracau.
Tanpa terkendali mungkin.

Ada luka yg tak kusadari membuka.
Namun, mengapa aku malah melukainya?
Sadarkah aku akan apa yang terjadi?
Aku meletup ... lagi.

Tidak, mengapa harus sekarang?
Tunggu, bukankah aku hanya meracau?
Dia sudah lama terluka, bukan karenaku.
Itu yang kutahu.

Namun, aku terbakar sendiri di sini.
Merutuki rajukan yang kutahu bisa kuabaikan.
Aku melakukannya tanpa kendali.
Ya ya, aku meletup kembali.

18:50
18112008

Kamis, 13 November 2008

Mencoba Bertahan

Kaget? Jelas iya. Siapa yg tidak terkejut jika ada teman yg akan mendahului untuk berhenti di tengah perjalanan. Ya, meskipun aku tidak begitu paham alasannya, aku mencoba tidak bertanya. Bagiku, itu adalah hak pribadi masing-masing. Toh, rasa penasaran tetap ada.
Aku sudah bimbang sebelumnya, aku sempat ingin berhenti di persimpangan sebelumnya. Saat aku masih berpikir sambil berjalan, ternyata ada yg mendahuluiku. Ya sudahlah, harus diterima.
Aku sempat berbisik kepada kawan seperjalanan tentang niatku itu, tapi dengan keras dia memintaku bertahan. Ya, perjalanan untukku belum selesai, bekal yg kubawa masih banyak.
Hmm, aku jadi termangu sekali lagi ... masih sambil berjalan. Mungkin dia bermaksud memberiku semangat. Aku kembali melihat kerlip mercusuar di kejauhan. Kerlip yg sempat terhalang mendung. Biarkan hujan turun, tidak apa-apa. Biar saja berjalan di tengah badai, tetap harus dicoba.
Yup, pelan tidak mengapa .... Aku mencoba kembali menyemangati diri dalam perjalanan yg belum tampak akan usai ... dengan sedikit asa.
18:00
13112008

Dulu dan Sekarang

Dulu ...
Sedikit kejengkelan akan membuatku ingin berhenti.
Namun saat ini ...
Kejengkelan kecil seakan tak sebanding dengan rengkuhanmu dalam sepi.

17:30
13112008

Rabu, 12 November 2008

Ga Lagi Deh ...

Wah, pengalaman beberapa hari ga ketawa di kantor bikin kapok deh.
Ga mau lagi menerima tantangan yg ga jelas.
Apalagi, tantangan utk tidak ketawa!!!
Padahal seorang teman jelas mengatakan, tertawa adalah nyawaku.
Betul, itu! Aku sakit kepala tiap malam karena seharian ga ketawa.
Aku juga tidak mengerti kok bisa begitu.
Ah, untung Jumat malem bisa ngakak. Lega deh ...
Dah ah, pokoke aku terima aja keadaanku yg orang bilang 'edan' karena suka ketawa sendiri.
Uah, itulah aku. Ada sahabat yg bilang agar aku jangan berubah. Ah, jadi GR.
Sudahlah.

17:45
12102008

Kamis, 06 November 2008

Waaa ..........

Kemarin teman2ku menantangku utk tdk tertawa seminggu ke depan.
Itu sungguhan atau main2 y? Aku tak tahu.
Namun, hari ini aku hanya sampai nyengir, tdk tertawa ... apalagi ngakak.
Sampai2 ada yg berkomentar, dunia akan muram karena aku tdk tertawa.
Ada2 saja. Apakah memang begitu?
Uah, rasanya mmg ada yg kurang nih! Bukankah tertawa itu mmg 'who I am'?
Aku kan 'ngedan', bukan edan.
Aku mmg 'ngantor', bekerja di kantor, tapi aku tidak slalu serius.
'Homy' adalah yg kurasa di sini. Jadi, aku mmg bkerja, tetapi jg bercanda dan
ngobrol dengan teman2. Tertawa sampai ngakak dan sakit perut tak bs dipisahkan.
So ... what will happen tomorrow? We'll see.

19:10
06112008

Selasa, 04 November 2008

Bingung ...

Waaa ... kok ak jd bingung mo nulis apa. Waks.
Padahal td dah smangat mo nge-blog. Wayau ...
Hari ini suasana kantor penuh tawa, tapi bukan berarti sedang hepi-hepi.
Siang harinya hujan turun cukup deras dan aku tak sadar teringat kembali
akan kenangan-kenangan lalu. Tidak melarat-larat memang (meski sedikit ingin melarat),
tapi cukup membuatku tersenyum.
Ah, sudahlah ... hujan sudah reda. Hampir semua teman kantor sudah pulang.
Izinkan aku ikut undur diri. Mungkin akan melangut dalam kenangan di jalan nanti.
Sungguh, aku akan sedikit terhanyut.

17:55
04112008

Kamis, 30 Oktober 2008

Aneh ya ...

Orang Indonesia (kalo ga ingin sukuisme dg bilang org Jawa) memang aneh.
Sesuatu yg sudah jelas malah diminta untuk lebih diperjelas.
Sementara itu, sesuatu yang sangat tidak jelas malah didiamkan saja.
Apa benar tidak perlu kejelasan? Hah, aku mulai bosan dengan itu.

09:45
31102008

Hari ini ...

Hari ini ...
Apa ya? Pagi tadi malah cerah, sunny. Namun, sorenya mulai mendung ... sampai sekarang.
Hampir separuh hari aku lewati dengan ngantuk. Duh, kualitas tidur kurang baik mungkin.
Hari ini juga tidak ngemil dari siang sampai sore. Hebat betul! Hehehe.
Sebenarnya tadi ada yang ingin aku tulis, mungkin puisi ... mungkin sekadar prosa.
Yah, mungkin besok lagi. Sudah cukup lega aku setelah sempat sharing dengan seorang teman.
Yup, mungkin itu cukup untuk hari ini. Ada tawaran yang bagiku sangat menarik dan menantang.
Tawaran membuat novel berdua!!! Uah, hampir saja aku lupa cita-citaku.
Sudah cukup lama aku tidak melanjutkan tulisan-tulisanku, fiksi.

Hari ini ...
Aku punya tujuan baru satu lagi. Aku benar-benar ingin mewujudkannya.
Semoga aku punya banyak semangat untuk mencapainya.
Sudah ah, aku sudah cukup ngantuk. Aku harus pulang.

18:15
30102008
in my office

Selasa, 28 Oktober 2008

Hei, kau!

Hei, kau!
Seenaknya saja kau menghilang sesukamu.
Mengapa tidak singgah sesaat saja?

Jangan hanya diam begitu!
Kautahu aku tidak suka melihatmu membisu.
Ayolah, katakan sesuatu!

Ah, bukankah bayangan memang tak pernah bicara?
Aku ini bicara dengan siapa ...
Kau belum jua datang.

17:45
29102008

Aku dan rasa jenuhku ... kemarin

Kemarin aku tiba-tiba merasa jenuh.
Kenapa ya ... Aku juga tidak mengerti. Aku sempat terpikir, mungkin karena apa yg kukerjakan beberapa hari terakhir ini. Aku berkutat dalam satu hal yg sama, mengecek dan mengecek.
Dulu aku selalu berusaha sebisa mungkin menghindari hal yg bernama pengecekan. Aku akan mengalihkan pekerjaan itu kepada orang lain yg kuanggap lebih mampu.
Namun, hari aku baru sadar bahwa mungkin rasa jenuh kemarin itu hanya sesaat. Buktinya hari ini aku tidak merasakannya meskipun melakukan hal yg sama lagi ... pengecekan.
Hmm ... ada hal yg sempat terlintas lagi. Apakah mungkin rasa jenuh itu datang karena aku seharian tidak mengunjungi dunia maya? Ah, terdengar konyol ya ...
Namun, itu benar-benar sempat lewat di otakku. Bukankah aku sekarang dah terbiasa berjalan-jalan di dunia maya? Entah hanya sekadar lewat atau menyapa teman-teman.
Yah, hanya alasan itu yg terlintas ... hingga saat ini, saat aku akan pulang.
Rasa jenuh yg datang tiba-tiba ...

18:10
28102008

Jumat, 24 Oktober 2008

Lagi-lagi ...

Lagi-lagi aku teledor.
Lagi-lagi aku ga teliti.
Ya ampun ...
Kan kasihan teman2 ya ...
Rasanya aku ingin amnesia saja.
Halah, bukankah kealpaanku itu juga seperti amnesia buatan?
Apa yang bisa kulakukan untuk memperbaikinya?
Tampaknya tidak ada, sungguh tidak ada.
Aku hanya bisa berjanji untuk berusaha lebih baik lagi, berusaha tidak mengulang kesalahan.
Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas panjang, menyadari betapa alpanya diriku.
Maafkan aku, Teman2 ...

16:45
24102008

Senin, 20 Oktober 2008

Terima Kasih

terima kasih untuk mata
yang mau melihat kekuranganku
terima kasih untuk tangan
yang tak bosan menopangku
terima kasih untuk bahu
yang sering menemaniku
terima kasih untuk hati
yang selalu mau menerimaku

21-22 Okt '08

Kamis, 16 Oktober 2008

Canduku ...

Hmm ...
Aku baru saja menyadari kalo canduku di tempat kerja ki dengerin musik .... Eh, bener ga ya?
Aku bisa sih kerja tanpa musik, benar-benar fokus dengan pengecekan atau penulisan. Kadang itu berhasil membuatku bekerja dengan cepat.
Namun, aku merasa ada yg kurang jika tanpa musik (atau cemilan ya?).
Perhatikan saja ... jika tidak menyetel radio dengan volume lumayan agak keras, aku akan tenggelam dalam radio hapeku (atau hape radioku). Kadang lagu yg kudengar tidak jelas, tapi yg penting musiknya. Apakah itu tidak normal?
Canduku, selain musik, adalah makanan! (cemilan mungkin lebih tepat)
Eh, jangan salah ... aku ga mudah gemuk meski ngemil sambil bekerja.
Namun ... akhir-akhir ini aku terkejut-kejut karena berat badan yg naik! What?? Ga salah nih?!
Entah aku harus senang, atau khawatir.
Pokoknya ... aku sangat menikmati bekerja sambil mendengarkan musik dan ngemil. Semuanya berfungsi!!!
17:25
16102008

Rabu, 15 Oktober 2008

Belum sepenuhnya lega

Waw, bantuan sudah datang! Hehehe, emang sudah cukup beberapa saat.
Namun, aku masih belum sepenuhnya lega. Proses pengalihan tugas ternyata tidak mudah ya.
Apa aku yg masih belum rela mengalihkan tugas? Sempat juga hal itu terlintas. Mungkin juga ya ...
Bagaimana lagi? Prosesnya juga tidak sepenuhnya lancar.
Fiuh, aku mulai benar-benar fokus ke bagianku yg 'sebenarnya'. Aiya, kok malah agak malas ya.
Duh, aku mulai terbiasa dengan hal-hal berbau admin. Waiya, tidak boleh terlena nih.
Aku harus memacu energi ke tujuanku semula, cita-cita awal.
Aku pasti bisa!!! Tidak bisa tidak.
Sahabat dan teman-temanku pun sudah mulai meniti di cita-cita mereka, masa' aku masih di sini saja.
Aku harus bisa menyemangati dan memotivasi diri sendiri juga!
Semangat!!! Tetap senyum!!!

17:35
15102008

Selasa, 14 Oktober 2008

Akhirnya ... Semoga ...

Akhirnya ...
Aku menyadarinya juga
Rantai kenangan itu sudah tak lagi mengikatku
Entah sejak kapan

Dulu sekali (aku mulai lupa)
Aku susah payah mengurai ikatan itu
Hampir gila aku mencobanya
Aku hampir tenggelam ke dalamnya

Sungguh ...
Aku tak mau lagi kembali
Aku ingin melangkah ke sana
Menuju muara kecilku

Semoga saja
Kenangan itu tak mengusikku lagi
Meski mungkin akan singgah sesekali
Tanpa ingin tinggal di dalamnya

13:50
15102008

Minggu, 12 Oktober 2008

bingung

"Apa yg kamu rasakan?"
Aku tidak tahu. Ya, ya ... aku sudah melewatinya.
Namun, aku tidak tahu perasaanku saat itu ... pun saat ini.
Huah, ya aku tidak tahu apa yang kurasakan.
Tolong ya, jangan tanya lagi.


17.20
13102008

Minggu, 21 September 2008

Aku Datang, Aku Singgah, Aku Terdiam

Aku sudah ke sana ... akhirnya.
Aku hanya singgah sesaat, tanpa sempat mencari apa yang sempat membuatku terobsesi.
Aku sempat terdiam, tanpa apa pun terlintas di otakku.
Aku benar-benar tidak dapat mengingat nama satu tempat, yang dulu sangat ingin kudatangi.

Aku tak bisa ke sana, karena tak ingat namanya.
Aku hanya bisa menghela napas panjang sambil pelan mendesah,
"Aku sudah datang ..."
Aku tak mendengar apa pun, hanya lirih suara sendiri.

Aku sadar tak bisa mengunjungi dia lagi.
Aku tahu dia sudah tak di sana lagi.
Aku hanya ingin melihat tempat itu saja.
Aku hanya bisa termangu, tanpa kata.


13:50
22092008

Rabu, 17 September 2008

hufh

Fiuh ...
Aku hampir saja lupa jika ada tempat itu.
Dulu aku ingin sekali pergi ke sana, meski hanya sebentar ... hanya sekadar singgah.
Semua melarang, keadaan pun tak mengizinkan.
Hingga membuatku terpuruk di sudut ruang.

Kini ...
Aku sudah tak ingat nama tempat itu,
yang dulu begitu ingin kusinggahi.
Mengapa sekarang tempat itu malah memanggilku?
Haruskah kujawab panggilan itu?

13:30
18092008

Senin, 15 September 2008

Menuju Muara

Akhirnya ...
Sungai kecil itu menuju muaranya,
muara yang tidak luas, mungkin juga tidak jernih.
Namun, sungai tak juga ingin berhenti
atau membelokkan arah alirannya.

Akhirnya ...
Sungai itu pernah tenang, pernah pula beriak.
Namun, sungai tetap mengalir ...
menuju arah muaranya.
Muara yang selalu menanti dengan tenang.

13:00
16082008

Selasa, 09 September 2008

the messenger

kamu mau jadi orang benar atau orang baik?
waks! pertanyaan yang tidak bisa cepat kujawab sore itu.
aku sedang bercerita tentang pekerjaanku yang sedang fullspeed.
lalu, pertanyaan itu diucapkannya. saat keningku berkerut, ada penjelasan selanjutnya.
orang benar itu sesuai aturan yang berlaku, sedangkan orang baik itu pasti memikirkan perasaan orang lain. nah loh!
apa yang kukerjakan saat ini sedang dalam persimpangan. mana yang harus kupilih?
tidak nyaman rasanya berada di tengah-tengah. aku bukan pelaksana, tapi juga bukan pengambil keputusan. aku hanyalah the messenger, 'penyampai pesan'. aku tak punya hak membuat pesan itu. ah, apakah memang harus seperti ini? tidak adakah yang bisa kulakukan?
apakah kebimbangan seperti ini bisa membuatku berhenti?
sungguh, aku ingin menjadi orang baik yang berbuat benar ... atau orang benar yang berbuat baik?
09092008
16:10

Rabu, 20 Agustus 2008

fiuh

Fiuh...
Aku usap dahiku pelan.
Kelar juga tugasku hari ini.
Meski lumayan ngantuk karena memelototi angka, aku cukup senang.
Ini tugasku, aku juga bisa belajar sesuatu.

Fiuh...
Kembali kuusap dahiku yang sedikit berkeringat.
Aku ingin pulang.
Bukan... bukan pulang ke tempat tinggalku.
Pulang ke dalam kehangatan yang membuatku tenang.
Kehangatan yang akhir-akhir ini sering memanggilku...
Memanggilku untuk pulang.

16:30
21082008

Kamis, 14 Agustus 2008

kejar tayang

uahhhhhhhhhhhhhh
hr ni lagi kejar tayang. fiuh. deg2n, apakah bs kelar sore ini.
semoga bs. eh, hrs bs!!!
duh, jan... sebenere dah bs kelar kmrn2, tapi kok ya 'keseselan' pekerjaan yg lain.
sapa yg salah neh?!
huah. sudahlah. yg penting, aku selesaikan bagian pekerjaanku.
iya to?

13:00
15082008

ngantuk...

aku ngantuk...
untung sempat merem bentar. hueh, lumayan.
hari ini kejar tayang (pinjam istilah sinetron), tapi masih menunggu giliran.
uhf, tidak sopan!
ada rasa yg numpang lewat di hatiku.
bagaimana menyikapinya, ya? perasaan yg sudah lama tidak singgah.
ah, sudahlah...
aku minum kopi cokelat saja, hirup aromanya yg menenangkan.
semoga bisa kembali menumbuhkan energiku.
semangat!!!

14:20
14082008

Selasa, 12 Agustus 2008

sore ini

iihhh...
rasanya jengkel sampai ubun2.
berulangkali terjadi dan masih juga aku mudah terpengaruh.
apa karena unsur 'udara'ku, ya?
entahlah, aku hanya tahu aku nyesek.
uh, bagaimana cara meredamnya?!
mungkin hanya dengan makan dan makan. dasar pelahap!

16:30
13082008

siang ini

waktu istirahat...
enaknya tidur sesaat setelah makan
hmmm, knikmatan yg baru bisa kurasakan beberapa minggu ini
kata seorang teman, pekerjaan memang takkan ada habisnya
kita harus tahu kapan harus istirahat, kapan harus bekerja
fiuh, tapi aku bekerja saat istirahat juga
mungkin terlalu menikmati apa yg kukerjakan
sampai sering tidak bisa membedakan apakah aku sedang bekerja atau beristirahat
huahmmm...

08082008

Suara itu tak terdengar lagi
Sosok itu pun tak tampak lagi
Akankah dia kembali
Akankah aku merindukannya

Entah …
Aku tak tahu
Aku sedang tak ingin mencari tahu
Entahlah …

18:25

Sabtu, 02 Februari 2008

sunday morning,03022008

lelah...
buset, kelelahan itu datang juga.
lalu apa yang harus dilakukan? padahal aku tak boleh berhenti.
bukankah akhirnya aku harus istirahat barang sejenak?
istirahat, bukan berhenti.
mungkin aku hanya harus menoleh sesekali, agar tetap ingat...
aku tak sendiri.

Jumat, 18 Januari 2008

Aku pun tak ingin

07012005

Aku hanya termangu saat ia mengatakan dengan jelas tanpa kalimat penghias sedikit pun bahwa aku harus pergi karena mereka takut padaku, pada penyakitku. Ingin sekali aku mengatakan mereka tidak perlu takut tertular hanya karena berbicara, bersalaman, berada di dekatku. Sungguh, aku tak ingin berpindah tempat untuk kesekian kalinya.

Sebaris kalimat dari sahabat menenangkanku,

“Mereka hanya tidak tahu.”

Ya, semua karena mereka tidak tahu. Ternyata ketidaktahuan bisa lebih berbahaya dari penyakit apapun. Bahkan HIV/AIDS, yang kata orang belum bisa disembuhkan. Bukan tidak bisa, hanya belum waktunya. Entah sialnya atau beruntungnya, aku mengalaminya. Terinfeksi HIV yang sedang ramai dibicarakan orang. Aku juga tak bermaksud ikut-ikutan tren menjadi ODHA. Aku bahkan tidak tahu kapan virus itu mampir ke tubuhku dan tinggal di sana. Apa yang membuatnya betah? Aku belum pernah melakukan sexual intercourse, baik dengan lawan jenis maupun sejenis. Aku juga bukan pecandu narkoba yang menggunakan jarum suntik bersama-sama.

Aku hanya pernah membantu seseorang yang hampir mati karena kehabisan darah saat terjadi kerusuhan antara mahasiswa dan aparat. Orang itu hanya seorang pejalan kaki. Seperti aku. Apakah aku harus bertanya padanya tentang penyakit yang dia punya? Padahal, mungkin dia sendiri tak menyadarinya. Haruskah aku menyalahkan Tuhan karenanya? Tidak, aku sudah lelah. Tak ingin lagi menggugat atau mencari tahu siapa yang salah. Aku hanya ingin menjalani saja hidup yang masih kumiliki. Hari demi hari.

Malam ini juga aku harus pergi dari tempat di mana aku mulai merasa nyaman dan tenang. Aku tak bisa menawar untuk tinggal hingga esok hari. Padahal ini malam Paskah. Malam di mana aku tidak ingin sendirian, setidaknya merasa kesepian. Namun, kata-kata kepala panti asuhan tidak dapat kubantah. Aku tak ingin tahu apakah ia sebenarnya tak ingin aku pergi. Aku hanya tahu aku harus pergi…lagi. Aku tak tahu ke mana harus menuju. Rumah aku tak lagi punya. Keluarga adalah yang pertama memintaku pergi. Ya, meminta…bukan mengusir.

Aku berjalan menyusuri jalan yang mulai ramai. Hampir tengah malam adalah saat Jakarta mulai ramai. Ah, mengapa langkah membimbingku ke tempat parkir sebuah mal besar. Mal ini selalu mengingatkanku akan Jogja dan seorang sahabat yang begitu peduli, namun tak kupedulikan.

“Hei, kenapa loe ada di sini?” sapaan khas seorang teman yang tak kulupakan. Aku hanya tersenyum. Dia mengangguk dan mengajakku ke warung di tepi jalan dekat lahan parkir yang mulai sempit.

Loe tenang aja. Ikut gua dulu, ya?”

Aku menatapnya dalam. Tuhan, aku tak sendirian.

“Makasih. Gue gak tahu harus ke mana lagi.”

Dia mengangguk-angguk. Malam itu kami lewati dengan ngobrol banyak hal yang tak bermakna. Setidaknya, aku tak sendiri. Namun, mengapa hatiku masih merasa sepi? Saat ia kembali mengatur motor-motor yang parkir agar lebih teratur, aku pergi ke kamar miliknya yang terletak tepat di belakang mal. Tempat kumuh memang, tapi setidaknya aku bisa berteduh malam ini. Kamar itu sempit dan hanya berisi satu kasur beralas tikar dan satu lemari pakaian kecil. Dulu aku biasa main di sini tanpa sungkan. Namun, malam ini aku merasa tidak nyaman. Aku keluar kamar dan berjalan-jalan di sepanjang trotoar di depan mal. Seandainya HP-ku tidak hilang, aku pasti akan menelepon atau setidaknya SMS sahabatku di Jogja.

Jogja…kota kecil yang menyimpan banyak kenangan. Aku pun menemukan sahabat di sana. Kurogoh saku celana dan hanya menemukan dua ribu rupiah. Mana cukup untuk interlokal ke Jogja. Aku menghela nafas panjang yang mulai terasa berat belakangan ini.

Aku jadi teringat sahabatku kembali, seorang gadis dari ujung Utara Jogja. Dia begitu giat menyemangati hidupku yang mulai meredup sejak aku tahu terinfeksi HIV. Dia tidak menghindariku. Dia selalu bersemangat menyambutku saat aku berkunjung. Dia tak segan menggenggam tanganku dan memelukku untuk memberikan ketenangan. Tidak, tidak ada hasrat di antara kami, setidaknya dari pihaknya. Dia sungguh hanya menawarkan kehangatan persahabatan. Ah, mengapa hatiku malah bergejolak begini saat mengingatnya. Kuputuskan menelepon HP-nya meski hanya sebentar. Untung wartel cukup dekat.

Setelah kutekan nomornya, lama baru kudengar nada sambungnya.

“Hai, Bro!”

Ah, dia bisa menebak jika aku yang meneleponnya. Aku hampir saja menangis karena sudah cukup lama tak mendengar suaranya.

“Malam, Manis. Maaf, aku tak bisa lama. Aku dah keluar. Doakan aku, ya? Met bobo.”

Aku segera menutup telepon karena uangku tidak cukup. Pedih aku saat membayangkan sahabatku menangis di sana. Maaf, aku tak tahu apakah masih bisa mengunjungimu kembali. Entah karena tidak bisa atau karena tak punya waktu lagi.

Sungguh, aku juga tak ingin menjadi ODHA dan kehilangan banyak. Namun, mungkin tanpa HIV aku tak bisa bertemu denganmu, sahabat dari kota Jogja, dan mendapatkan anugerah persahabatan yang tulus. Ah, aku ingat tadi belum mengucapkan betapa aku sayang padanya. Semoga dia tahu. Betapa aku sangat menghargai persahabatan kami. Kembali dadaku bergemuruh. Hangat menyelimuti hatiku.

Dengan perasaan hangat, aku melangkah kembali ke kamar kos temanku. Tuhan, terima kasih Kau berkenan memberiku kesempatan mengenal seseorang yang masih mau menawarkan ketulusan sebuah persahabatan. Padahal, keluargaku sendiri menolakku. Tuhan, sungguh aku bersyukur. Namun, masih bolehkah aku berharap dapat kembali pergi ke Jogja mengunjunginya, meski hanya sekali.

Aku tahu aku takkan lama lagi dalam kondisi baik karena tak satu obat kukonsumsi. Aku pun sudah lelah menjaga perilaku sehatku. Kulirik kantung bajuku. Ada sebatang rokok filter yang melambai-lambai di sana. Kutahan diri agar tidak menghisapnya. Sesampainya di tempat parkir mal dan bertemu temanku, keinginanku merokok muncul kembali.

Kuhisap perlahan rokok filter sambil membayangkan apa yang kualami belakangan. Tanpa sadar kugulung lengan bajuku. Banyak tanda di lengan bawahku. Sahabatku pasti marah jika melihatnya, apalagi jika tahu alasannya. Aku sadar, aku jadi cengeng akhir-akhir ini. Aku pun mudah berpikiran pendek. Putus asa? Mungkin benar. Tuhan, maafkan aku yang tak menghargai kehidupan yang Kau berikan.

Jika tadi aku tak bisa bicara dengan sahabatku, mungkin pikiran bodoh akan terlintas kembali. Aku ingin menggugat, mengapa semua terjadi padaku saat aku memantapkan diri untuk berhenti dari dunia kelam. Rasanya tak ada gunanya aku berubah. Tiba-tiba, wajah polos sahabatku melintas. Raut wajahnya tampak marah. Aku jadi teringat setiap kalimat yang dia ucapkan untuk menguatkan hasrat hidupku.

Ah, aku tak boleh begini. Hidupku mungkin tak lama lagi, tetapi aku harus bisa membuat hidup singkat ini berarti bagi sesama. Bukankah itu memang keinginanku dulu? Kumatikan rokok yang masih separuh. Kuhela napas panjang yang masih saja terasa berat dan kutekan nyeri yang mulai menyeruak dadaku. Aku memantapkan diri untuk keluar kamar sempit dan mencari tempat berteduh yang baru. Tempat di mana aku bisa membagikan pengalaman hidupku dan mencegah orang lain berbuat kebodohan yang sama. Tuhan, terima kasih.

13.15

revisi 09 Januari 2006

REI

REI

Ah, tak sampai 10 detik…pisau itu telah berpindah ke tubuhku. Sekilas kulihat Aya tersenyum. Senyum persahabatan, ketulusan, atau malah kemunafikan? Entahlah, tiba-tiba saja otakku tak bisa lagi berpikir. Adakah suara ketukan itu detak jantungku sendiri?

###

Namaku Rei. Umurku baru saja melewati 21 tahun. Aku masih berkutat dengan yang namanya kuliah. Kuliah, pulang, nonton TV…keseharianku. Belajar? Kalau sempat. Yah, rutinitas yang membuat hidupku terasa datar. Setiap hari aku melakukan kegiatan yang sama. Aku pun sering merasa jenuh dengan dengan hidupku yang tanpa gelombang. Tak jarang aku hang out dengan sahabat-sahabatku, ngobrol, dan sharing. Sering pula aku jalan-jalan sendiri untuk menikmati suasana kota. Namun, aku tetap merasa hidupku datar, sedatar denyut nadi orang mati. Flat line.

Sampai aku bertemu Uli, si Abang yang berprofesi wartawan lepas sebuah koran harian. Kami bertemu dalam pelatihan menulis yang diselenggarakan suatu penerbitan. Aku ikut hanya untuk mengisi waktu kosong saat liburan semester. Sementara Uli mengikutinya karena mendapat jatah dari koran tempatnya bekerja. Sekalian meliput, katanya. Uli dan aku duduk berdampingan tanpa direncana. Sama-sama terlambat. Mungkin karena duduk paling belakang sehingga tidak mendengar pembicara atau memang kurang tertarik dengan topik pembahasannya, kami malah ngobrol. Mula-mula aku hanya iseng mengomentari penampilan pembicara dan Uli mengiyakan. Akhirnya, aku menemukan diriku saling menertawakan pengalaman masa kecil dengan Uli. Semuanya mengalir begitu saja. Kami pun mendapatkan kumpulan data diri setiap peserta pelatihan dari panitia dan aku sempat terbahak saat tahu usia Uli. Baru saja melewati kepala tiga! Wajah Uli lumayan sewot saat aku lebih muda dari perkiraannya. Setelah hari itu, aku mendapati diriku semakin dekat dengan Uli. Hidupku pun berubah. Spontan, lucu, tetapi kadang berbahaya. Uli…sosok laki-laki dewasa yang bisa mengisi kekosongan jiwaku yang ‘sakit’. Bagaimana tidak sakit? Hampir semua orang mengharapkan hidup yang normal, dalam arti tidak ada masalah berat atau gelombang kehidupan. Sementara aku dengan kehidupan normal dan bahagia yang hampir tak pernah mengalami masalah berarti, malah menginginkan hidup yang bergejolak. Bukankah itu namanya orang ‘sakit’?

###

“Kamu dodol banget!” komentar Uli suatu saat ketika kami bercerita pengalaman konyol masing-masing. Aku hanya mencibir seperti biasa.

“Kok kita gak ketemu dari dulu, ya?”

“Biar bisa Abang gangguin?! Sori, ye!”

Uli, si Abang, hanya tertawa lebar. Yah, hidupku tak lagi datar. Uli membawa banyak cerita menegangkan yang sungguh nyata. Aku jadi tersadar akan dunia yang tidak melulu indah. Kedatangan Uli membuka mataku dengan pengalamannya yang kadang menegangkan saat berburu berita. Uli pun menularkan jiwa sosialnya padaku. Dua bulan ini ia sibuk membuat proposal dan mencari sponsor untuk membangun sebuah shelter untuk anak-anak jalanan. Uli menemukan mereka saat menulis berita tentang kekerasan pada anak jalanan. Ia tak mengizinkanku membantunya.

“Kamu fokus kuliahmu saja. Nanti kamu membantu kalau shelter-nya sudah jadi.” Itu alasan Uli saat aku memaksa untuk membantu paling tidak menuliskan proposalnya. Ia hanya mengenalkanku pada anak-anak jalanan itu. Sekali-dua, kami bertemu dan ngobrol bareng. Pengalaman mereka ternyata tak kalah menegangkan dan menyentuh. Aku sering terharu saat Uli membicarakan mereka. Uli…lelaki berjiwa bebas yang sangat peduli pada nasib anak-anak jalanan.

###

Namun, itu hanya beberapa bulan. Sejak Uli tahu penyakit kanker ada di tubuhnya. Tak ada binar cerah dari wajahnya, meskipun senyum tetap lekat di sana. Aku merasa kehilangan pelangiku.

“Rei, kadang aku ingin berhenti saja.” Celetuk Uli saat sedang dolan untuk menemaniku jaga rumah. Aku masih belum meresponsnya. Tarikan nafas Uli terdengar berat.

“Rei, kenapa ini terjadi padaku?” Aku menelan ludah, mulai mengerti arah pembicaraannya. Pasti dia mulai putus asa lagi.

“Bang, jangan begitu. Kan, Abang sendiri pernah bilang, kalau apa yang terjadi pada kita kadang merupakan rahasia-Nya.” Kataku sambil menunjuk ke atas. Uli tersenyum hambar. “Rasanya tak ada arti aku membuat banyak rencana ke depan. Shelter untuk anak-anak jalanan itu pun baru mulai kurintis. Apa aku hentikan saja, ya, Rei?”

Aku menatap Uli, “Bang, itu kan cita-cita Abang sejak dulu?”

“Ah, apa gunanya kalau aku sudah pergi sebelum shelter itu terwujud? Shelter itu butuh beberapa tahun untuk berdiri, sedangkan aku tak tahu apakah waktuku sebanyak itu…” Kalimat Uli terhenti. Aku tercekat. Kalau sudah begini, aku benar-benar merasa seperti masih anak-anak. Tak tahu apa yang harus kukatakan untuk membangkitkan semangatnya. Perasaanku sendiri tak menentu. Aku juga tak mau kehilangan pelindung yang baru saja kudapatkan.

Setelah beberapa lama terdiam, aku beranikan bicara sambil menggenggam erat tangannya. “Bang, hidup mati kan bukan hak kita. Kita semua pasti mati dan tak tahu kapan akan terjadi.” Aku menelan ludah, klise sekali. “Menurutku, Abang beruntung…”

Uli balik menatapku, “Maksudmu?” Aku mencoba tersenyum.

“Orang lain tidak tahu kapan akan mati. Aku juga. Nah, Abang malah sudah diberi tahu kira-kiranya. Ya, kan?” Bodoh, kenapa aku mengatakan hal seperti itu? Mata Uli berkaca-kaca. Tanpa kata, ia memelukku erat. Wah, kok jadi sentimentil begini. Setelah beberapa saat, Uli melepaskan pelukannya. Dia pun tersenyum.

“Yah, kamu benar, Rei. Aku cukup beruntung. Eh, sangat beruntung. Aku tahu kapan aku mungkin akan mati, sehingga bisa siap-siap, ya?” Aku hanya bisa mengangguk. Batinku terasa ngilu.

###

“Rei, aku benar-benar minta maaf…” Uli menatapku dengan pandangan sendu. Aku tak pernah melihatnya seperti itu. Tentu sebelum aku tahu dia mencoba bunuh diri. Uli…mengapa sampai seperti ini? Cukup lama ia terdiam untuk menjawab pertanyaanku itu. Saat kami masih di bangsal rumah sakit.

“Aku ingin ketemu Tuhan… Aku ingin tanya mengapa semua ini terjadi padaku.”

“Abang…” Tenggorokanku tercekat.

“Kenapa semua terjadi saat aku…berubah. Rei, aku kan sudah..” “Insaf. Ya, aku tahu, Bang. Aku juga percaya.”

“Lalu kenapa Tuhan menghukumku seperti ini? Saat aku berusaha menata hidupku kembali, Dia malah…” Ganti Uli yang tercekat. Aku hanya bisa mengusap pelan tangan kirinya yang diperban separuh. Tangan itu tak sekokoh biasanya. Sungguh, aku hampir tak mengenalinya. Apa yang dia pikirkan?

“Abang, tak memikirkan aku?” tanyaku pelan. Uli terhenyak, “Aku..aku…”

“Aku..tak ada artinya, ya, Bang?” Aku merasa hati dan mataku memanas.

“Rei…”

Aku menahan tangis sekuat tenaga. Aku tak tahu bagaimana perasaanku saat menyadari keberadaanku seakan tak ada artinya bagi Uli. Kugigit bibirku keras sebelum akhirnya mencoba bicara.

“Bukankah Abang pernah bilang padaku Tuhan itu aneh. Kita kadang tak tahu apa keinginan-Nya.” Kutarik nafas dalam dan berbisik di telinganya, “Mungkin ini cara Tuhan bilang Ia mengasihi Abang…” Aku ingin melangkah pergi. Namun, tangannya mencegahku. “Temani aku, Rei.”

###

Satu bulan, dua bulan, empat bulan…enam bulan. Ya, sudah enam bulan setelah vonis mematikan itu dan Uli masih bersamaku. Hidup dan bernafas. Dia memang pernah mencoba bunuh diri, tetapi dia tidak mati. Aku merasa Tuhan belum mengizinkannya pergi. Bukankah hidup dan mati memang rahasia Tuhan?

Sore ini aku janji bertemu Uli di kafe favorit kami pukul 8 malam. Masih pukul 7.30 saat aku sampai di sana. Suasana cukup sepi. Biasanya aku menunggu di bagian perpustakaan, tetapi malam itu aku sedang ingin mendengarkan permainan band tetap kafe. Malam itu mereka memainkan lagu-lagu Top Ten. Saat asyik mendengarkan lagu Where’d you go milik Forth Minor, bahuku ditepuk seseorang. Aya, wanita cantik kolumnis di koran yang sama dengan Uli. Aku tersenyum sambil bertanya-tanya alasan kehadirannya. Aya adalah wanita yang terkenal dingin dan anti tempat-tempat yang berbau hiburan.

“Malam, Mbak.” Aku menyapa basa-basi. “Sedang menunggu Uli?” Meski kaget, aku mengangguk. Aya duduk di depanku. Wajahnya serius.

“Uli tak bisa datang. Tidak usah ditunggu. Aku dari kantor dan sempat bertemu Uli. Ia memintaku menyampaikan pesan ini padamu.” Keningku berkerut. Keherananku cukup beralasan. Aku tahu Aya menyukai Uli dan sering menunjukkannya di depanku dan teman-teman sekantornya. Aku memang sering diajak Uli saat menyerahkan tulisan atau mengambil honor. Namun, Uli tidak membalasnya. Aya hanya teman biasa yang kebetulan satu tempat kerja. Uli pernah mengatakannya padaku. Aku tak ambil peduli, toh aku dan Uli tak melakukan hal yang salah.

“Makasih pemberitahuannya, Mbak. Aku masih akan menunggu di sini. Lagunya asyik.” Wajah Aya tak berubah. Kami sama-sama diam. Setelah lewat dua lagu, Aya beranjak pergi. Masih tanpa kata. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Aku yakin Uli akan datang. Janji adalah janji.

Pukul 8 lebih 10 menit aku mulai gelisah. Tak biasanya Uli terlambat tanpa pesan. Aku beranjak menuju pintu keluar. Sebelum mencapai pintu, aku merasa melihat sosok Aya. Ada sinar memantul dari tangannya. Bayangan sebilah pisau berkelebat.

###

“Rei!!” Aku merasa ada yang mengguncang tubuhku, keras. Kepalaku terasa ringan. Mataku terasa berat. Wajah pertama yang kulihat adalah wajah Uli. Ada airmata di sana.

“Bang…” Saat aku mencoba bicara, ada rasa menusuk-nusuk di ulu hatiku. Tampaknya ada keributan di sekitarku, tetapi tidak jelas. “Rei, kamu kenapa?” Aku mencoba tersenyum, rasanya begitu damai..hangat. “Bang, hidup dan mati memang rahasia-Nya, ya? Siapa kira Abang masih di sini…” Uli terseyum. Hei, di pipinya ada darah. Apakah itu… Ah, otakku tak bisa berpikir lagi. Tiba-tiba badanku terasa begitu letih. Rasanya aku ingin tidur saja.

“Rei…temani aku…” “Tapi, Bang…aku capek. Tidurkan..aku…” Aku tak merasakan lagi sakit di ulu hatiku. Hanya hangat… Adakah pelukan Uli menghangatkanku? Samar kudengar isaknya pelan di telingaku. Desah nafasnya menyempurnakan kedamaianku.

Juni-Juli 2006

15012008

mereka bilang jangan berharap

mereka bilang jangan aneh-aneh

mereka bilang itu mustahil

mereka juga bilang itu tak mungkin


namun, adakah mereka mengerti

aku sadari semua itu

aku tahu semua itu

aku mengerti


ijinkan hatiku bicara

ijinkan egoku berucap

tak harus didengar

tak harus dipahami


kuhanya ingin seorang kakak

saat kubutuh dipeluk tanpa hasrat

saat kubutuh dimarahi tanpa emosi

saat kubutuh didengar tanpa kata


16.00

at the office